Perempuan Jawa Dilarang Menikah dengan Lelaki Sunda
Nah lho?? Kok lucu? Kemudian timbul pertanyaan-pertanyaan lain di benakku. Kenapa larangan ini hanya mengait Jawa dan Sunda? Kenapa tidak membahas suku-suku bangsa yang lain? Eskimo misalnya? Halaggh, kejauhan atuh, Nai!
Pasca Lebaran, entah berapa tahun yang lalu. Salah seorang tanteku menyampaikan pesan ini, bahwa aku tidak boleh menikah -bahkan sekadar pacaran- (dow!! siapa juga yang pengen pacaran di luar nikah?!) dengan lelaki Sunda. Lengkap dengan alasan yang telah kusebutkan di atas. Katanya, "Ora ilok!"
Otakku muter, "Kenapa sih harus perempuan yang dilarang? Nah, mas Didit tuh nikah sama orang Sunda, kok dia nggak komentar? O iya, mas Didit kan cowok Terus, kenapa harus laki-laki Sunda? Gimana kalau aku nikah dengan orang Batak? Atau Padang? Orang Kalimantan? Orang Bali? Sulawesi? Irian deh?! Kenapa sih dengan Sunda?"
Aku cuma bisa nyengir asem sambil nahan tawaku, "Yaa, gimana Allah ngasihnya aja. Yang penting sholeh." Kemudian tanteku mengulang pesannya dengan penekanan khusus. Dalam hati aku bersyukur, "Untuuung dia cuma tanteku, bukan orangtuaku. Untuuung orangtuaku gak "kentel" Jowone." Aku mengangguk-angguk sambil senyum palsu biar tanteku berhenti bicara .
Kemudian (kira-kira) setahun berlalu. Saat itu, aku masih meyakini sejarah pelarangan ini "versi orang Sunda" (karena menurutku, cerita di atas lebih berpihak kepada orang Sunda -kang Opik tea nggak mau ngalah-), soal pernikahan Dyah Pitaloka. Trans TV (entah program apa, semacam jejak petualang gitu lah) membahas Sumedang dan sejarah kerajaannya.
Insun medal, insun madangan; merupakan jargon terkenal dari Pangeran Kornel (nama aslinya siapa ya? Prabu...apa lah. Selain nama julukannya, nama aslinya juga diabadikan menjadi nama jalan di Sumedang. Pangeran Kornel itu julukan yang diberikan oleh Belanda). Jargon inilah yang menjadi cikal bakal nama Sumedang. Artinya, aku lahir, aku menerangi. Pangeran Kornel inilah yang memimpin kerajaan Sumedang. OOT nih! Aku bingung, jargon ini kental banget bahasa Jawanya. Jawa Pesisir! Kok termasuk keturunan Pasundan ya?
Lanjut! Kerajaan Sumedang ini adalah kerajaan paling muda seantero nusantara. Sementara kerajaan tetangganya, Kesultanan Cirebon yang termasuk ke dalam wilayah Jawa, adalah kerajaan yang paling tua, paling awal berdiri. Si "Anak Muda" ini karena baru berdiri, lagi semangat-semangatnya. Sangat bergairah. Sehingga berhasil menaklukkan kerajaan Cirebon dan merebut wilayahnya. Hal ini menjawab pertanyaan kenapa Cirebon (dan Indramayu) mempunyai kultur Jawa (bangettt!), padahal wilayahnya terletak di Jawa Barat. Dari bahasa, budaya, kepercayaan, teu nyunda pisan!
Makanya suka pada bingung kan kalau aku (yang orang Indramayu) mengaku sebagai orang Jawa? Kebetulan bapakku memang orang Jawa (kakak iparku bilang, bapak mah udah jadi orang Indramayu, kentel banget!). Tapi, meskipun bapakku orang Indramayu, aku tetap akan mengaku sebagai orang Jawa. Karena kami memang tidak dialiri darah Sunda sama sekali.
Nah, dari peristiwa penaklukan wilayah itulah lahir anggapan bahwa Jawa itu lebih tua dan Sunda itu lebih muda. Terkait dengan kesultanan Cirebon yang lebih tua dan kerajaan Sumedang yang lebih muda. Jadi, konsep "Ora ilok" itu nyambung.
Kenapa perempuan yang dilarang dan bukannya laki-laki? Karena posisi perempuan dalam rumah tangga lazimnya (menurut masyarakat awam) untuk dipimpin. Yang memimpin itu sepantasnya (lagi-lagi menurut logika awam) yang lebih tua, karena memiliki lebih banyak pengalaman, sehingga (diharapkan) bisa mengambil keputusan yang sebijak-bijaknya. Maka, tak ada larangan laki-laki Jawa menikahi perempuan Sunda.
Lucu ya? Kalau saja si lelaki Jawa lebih muda usianya daripada perempuan sunda yang hendak dinikahinya, tetap tidak akan dilarang. Kan Jawa lebih tua. Hehehe ......!
Ahai! Mungkin di antara kamu ada perempuan (keturunan) Jawa yang pernah mendengar larangan ini. Sedangkan untuk para lelaki (keturunan Sunda), aku nggak yakin banyak yang pernah mendengarnya.
Hal ini pernah diangkat ke dalam cerpen (lupa judulnya) oleh teh Lina Liana (Bandung) dalam kumcernya "Jodoh Untuk Adel". Konon katanya (atau kata kang Opik? Hehe, aku lupa...), hal ini disebabkan peristiwa yang terjadi pada zaman kerajaan dahulu kala. Aku nggak inget cerita persisnya. Kurang lebih, saat ada perjanjian perkawinan antara kerajaan Sunda & Jawa (entah tepatnya kerajaan apa) yang hendak menikahkan antara Dyah Pitaloka dengan calonnya (lupa euy...!) dengan maksud mempersatukan dua wilayah kerajaan tersebut. Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, pada hari yang telah ditentukan, kerajaan Jawa menanti kedatangan calon pengantin di sebuah lapang (atau bukit? atau dataran tinggi? teuing lah.). Setelah lama menanti, bukannya rombongan calon pengantin yang datang, melainkan serangan dari kerajaan Sunda yang menyebabkan kekalahan dari kerajaan Jawa. Rupanya kerajaan Sunda menjebak, perjanjian perkawinan itu hanya siasat. Kerajaan Jawa yang merasa ditipu, sakit hati, lalu mengeluarkan larangan tersebut.
Masuk akal bukan? Tetapi kemudian menjadi sangat tidak berhubungan (antara sejarah dengan alasan pelarangan tersebut yang beredar pada masa kini). Perempuan Jawa dilarang menikah dengan lelaki Sunda karena : Jawa itu lebih tua, sedangkan Sunda itu lebih muda. Jadi, jika perempuan Jawa menikahi lelaki Sunda, itu namanya menikahi adik.
REFRENSI
http://rexyo743.blogspot.com/2009/05/mitos-jawa-sunda.html